|
Pasukan Marsose |
Perang Aceh tahun 1873 bisa dikatakan sebagai salah satu perang
terdasyat antara pribumi melawan pendudukan Belanda kala itu. Seperti
yang diceritakan Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “Perang di Jalan
Allah, Perang Aceh 1873-1912”, perang Aceh merenggut banyak korban jiwa dalam kurun waktu perang tersebut. Bukan cuma perang antara "prajurit dengan prajurit", tapi juga terjadi pembantaian penduduk sipil. Jumlah korban yang membengkak akibat banyak
pasukan yang berperang, tak memiliki kecakapan untuk berperang.
Salah satu alasan mengapa begitu banyak korban jiwa dan begitu dasyatnya
perang, karena di perang ini, teknik gerilya digunakan begitu sempurna
oleh pasukan pribumi kala menghadapi pasukan Belanda. Ianah Wulandari,
Sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya dalam tulisannya berjudul
“Satuan Korps Mareschausse di Aceh tahun 1890-1930”, membenarkan
serangkaian serangan gerilya tersebut. Sampai-sampai, dalam perang Aceh,
Belanda tak begitu banyak memberikan perlawanan berarti. Pasukan
Belanda bagaikan dikepung prajurit-prajurit gerilyawan Aceh yang sukar
untuk dilacak. Belum lagi ditambah keadaan geografis Aceh yang berbukit,
banyak sungai, dan banyak pegunungan serta hutan membuat pasukan
gerilyawan pribumi makin sulit dilacak pasukan Belanda. Akibatnya,
Belanda hanya bisa mempertahankan wilayahnya saja.
Mulanya, sebenarnya Belanda terlalu menganggap enteng menaklukan wilayah
Aceh yang dirasa “cukup mudah ditaklukan”. Nyatanya, dari tahun 1873
hingga awal tahun 1880, Belanda memperoleh begitu banyak kerugian.
Bahkan nilainya mencapai 115 juta florin. Biaya yang begitu besar
dibanding hasil yang didapat. Belanda dalam kurun waktu tersebut, hanya
sanggup menguasai Aceh dalam luas wilayah sebesar 74 Km2. Artinya,
Belanda hanya mampu menguasai kota Raja (Keraton) dan Masjid Raya Aceh
saja. Diluar itu, Belanda tak memiliki kuasa apapun. Artinya, sebenarnya
Belanda dikepung pasukan gerilyawan Aceh. Dan hal ini pula yang justru
menguntungkan pasukan Aceh. Musuh mereka, yakni Belanda bagaikan
digiring di satu titik pertempuran saja. Sehingga memudahkan para
gerilyawan Aceh untuk melakukan serangan taktis yang menghasilkan efek
yang besar. Dan Belanda, benar-benar menganut paham “Gecocentreerde
Linie” atau pola bertahan yang sangat umum.
Dari serangkaian kegagalan yang dialami Belanda tersebut, sampailah
mereka pada kesepahaman bersama bahwa Belanda harus berbenah dalam
menghadapi Aceh. Seperti diutarakan Wlandari, Belanda akhirnya
mempekerjakan seorang Antropolog untuk meneliti perihal masyarakat Aceh.
Ditunjuklah seorang bernama Snouck Hurgronje seorang Antropolog untuk
“memata-matai” masyarakat Aceh yang sukar dikalahkan dalam peperangan
tersebut. Salah satu tugas Hurgronje adalah menyelidiki lebih dalam
kondisi sosial budaya masyarakat Aceh, agar, Belanda dapat masuk dan
menguasai masyarakat Aceh.
Dalam serangkaian cara untuk menguasai Aceh, lahirlah sebuah ide yang
berasal dari seorang Minang bernama Mohammad Syarif. Ia mencetuskan
pembentukan korps pasukan khusus yang dibentuk untuk menghadapi
gerilyawan Aceh. Syarif sendiri merupakan seorang pribumi yang pro
terhadap Belanda. Ia memberikan usulannya tersebut pada Gubernur Militer
Belanda di Aceh, Jenderal van Teijn dan juga kepada Kepala Staf Militer
J.B. van Heutsz.
Dari usulan tersebut, akhirnya dibentuk sebuah pasukan elit bernama
pasukan Marsose atau dikenal pula dengan sebutan Korps Mareschausse yang
didirikan pada tanggal 2 April 1890 dan tercatat dalam sebuah surat
keputusan yang ditandatangani Ratu Belanda yang berjudul “Staatsblad Van
Nederlandsch Indie”. Korps ini bukan sembarang korps. Melainkan sebuah
tentara bayaran berdarah dingin yang anggotanya merupakan pribumi. Hanya
pimpinannya saja yang berdarah Belanda. Keunggulan yang ditawarkan oleh
pasukan ini adalah karena mereka pribumi yang dilatih khusus, mereka
akan lebih mengenal musih mereka yakni sesama pribumi. Artinya, bisa
dikatakan, korps Marsose ini ditugaskan untuk membunuh saudara mereka
sendiri. Dengan peralatan canggih di zamannya dan gaji besar, pasukan
Marsose dikenal sebagai pasukan elit berdarah dingin.
Pasukan bayaran tersebut merupakan solusi jitu bagi Belanda. Karena
anggotanya merupakan pribumi, pasukan ini memiliki keistimewaan yang
sangat taktis. Bagaikan seorang gerilyawan pribumi lainnya, mereka
menguasai medan perang dengan sangat baik. Adat-istiadat setempat juga
mereka kuasai. Hingga, masuk ke dalam masyarakat umum Aceh adalah sebuah
kemudahan tersendiri bagi pasukan Marsose. Salah satu keunikan pasukan
Marsose adalah mereka lebih sukan menggunakan senjata tradisional
pribumi yakni Klewang. Akibatnya, saat bertempur dengan pasukan
gerilyawan Aceh, pasukan Marsose bisa dikatakan berimbang. Ditambah
aroma darah dinginnya, tentu pasukan Marsose memiliki nilai lebih.
Ditambah, fakta menarik lainnya bahwa pasukan ini berasal dari segala
penjuru Nusantara menjadikan pasukan Marsose amat tangkas untuk
dipergunakan di selurub penjuru Nusantara. Namun, dalam berbagai fakta
sejarah, wilayah Aceh adalah wilayah elit bagi pasukan ini.
Pasukan Marsose bisa dikatakan “Soldier of Fortune” karena tujuan mereka
jelas, membela yang bayar. Mumbunuh saudara sebangsa merupakan bagian
lain dari kejamnya pasukan Marsose tersebut.
Salah satu catatan yang menarik perihal pasukan Marsose adalah artikel
berjudul “Klewanganval Jang Kedjadian Pada 5de Brigade Marechausse, di
bawah perintah dari Iste Luitenant Infanterie Harting” dimana
diceritakan bahwa pasukan Marsose bertempur dengan gerilyawan Aceh
dengan menggunakan klewang. Pertarungan ini sarat nilai budaya Aceh
sendiri dengan senjata tradisionalnya. Perlawanan yang tak bisa
diberikan oleh pasukan Belanda, justru dimiliki oleh pasukan Marsose
yang mengerti betul teknik bertempur Aceh dalam keragka budaya mereka.
Ini merupakan keunggulan nyata pasukan Marsose. Mereka pasukan berdarah
dingin, mata-mata, dan juga merupakan pembunuh sadis saudara sebangsa
mereka.
Dalam serentetan prestasi mengerikannya, akhirnya pada tahun 1930
pasukan Marsose resmi dibubarkan. Belum jelas kemana saja para pasukan
pembunuh bayaran ini menyebar. Tapi, satu yang pasti mereka benar-benar
telah memberikan sejarah kelam dalam dunia militer di Nusantara.
Untuk tambahan, keunggulan pasukan marsose dibanding pasukan reguler Belanda
1. marsose memakai senapan laras pendek (carbine / karaben)
senapan laras pendek memudahkan mobilitas / pergerakan di hutan lebat sehingga pasukan marsose lebih lincah bergerak dihutan dibanding pasukan reguler yang umumnya membawa musket (senapan laras panjang)
2. pasukan marsose membawa kelewang (semacam golok pendek)
lagi lagi kelewang pendek lebih lincah dan memudahkan pertarungan jarak dekat di hutan lebat..
bandingkan dgn tentara reguler belanda yang umumnya menggunakan bayonet atau pedang panjang yang agak merepotkan jika digunakan hand to hand combat di hutan lebat
3. pasukan marsose membawa perbekalan yang minim sehingga tidak terbebani oleh bawaan yang berat
jika kehabisan bekal, umumnya mereka merampok menjarah dari penduduk desa
4. seragam pasukan marsose berwarna gelap dan sangat cocok untuk kamuflase di hutan lebat
jangan dibandingkan dengan seragam pasukan reguler belanda yang umumnya berwarna cerah mencolok,,khas seragam pasukan eropa jaman napoleonic era
5. marsose menggunakan taktik perang gerilya, mobilitas yang tinggi memungkinkan siasat hit and run, serta menguasai jungle warfare
sedangkan pasukan reguler belanda (seperti umumnya pasukan eropa) mengandalkan taktik linear yang sangat tidak cocok diterapkan di hutan rimba
Sekian info yang dapat kami sampaikan, ikuti terus blog kami untuk info info yang lainnya :D